Home

Selasa, 07 Juni 2011

Membaca Sebagai Salah Satu Kunci Kebangkitan Umat

Urgensi Membaca
IQRO’ - Begitu bunyi ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah Saw. Hanya Allah Ta'ala yang tahu mengapa Allah memilih perintah untuk membaca sebagai perintah pertama yang diturunkan untukumat manusia. Saya sendiri memang belum tahu apakah memang ada nash (teks) yang menjelaskan alasan itu dalam al-Qur'an sendiri maupun Hadits. Namun bisa dipastikan betapa pentingnya perintah 'membaca' ini bagi umat manusia, khususnya umat Islam. Suatu ketika di rumah, sambil duduk-duduk di dekat rak buku berisi berderet buku koleksi saya , saya ngobrol-ngobrol dengan seorang teman. Dia mengatakan,”Mas, kenapa ya, aku kok males banget kalo baca buku ? Bahkan komik aja yang banyak gambarnya, aku males baca “ (intinya begitulah katakatanya- pen).
Kalimat-kalimat serupa seperti ini sangat sering saya dengar dimanapun saya berada. Terutama ketika bersama teman-teman berkumpul lalu ada yang memulai membicarakan tentang bagusnya sebuah buku yang pernah dibaca. Saya juga sering mendengar dari orangorang yang lalu lalang ketika saya sedang jualan buku di seminar-seminar kampus ataupun di training-training. Seharusnya masalah kemalasan umat Islam untuk membaca merupakan isu penting yang harus sering diangkat. Suatu ketika saya menemukan buku-buku karangan M. Faudzil Adhim, juga buku-buku 'kuno' karangan DR. Yusuf al-Qardhawy yang saya temukan di perpustakaan masjid ITS, yang ratarata didalamnya membahas tentang kemunduran umat Islam ini dibandingkan umat Yahudi yang ternyata juga berakar pada satu masalah, yaitu : MEMBACA!

Saya dan Buku
Memang orang tua saya bukan orang yang mendidik saya membaca sejak usia balita, apalagi dengan metode-metode khusus seperti era modern yang sekarang ini. Namun dalam hal membaca, Ayahku-lah yang paling memberikan contoh kepada kelima anaknya untuk cinta membaca. Walau sangat jarang kami diperintah spesifik untuk membaca, tapi aktifitas asiknya membaca, sering terlihat didepan mata kami anakanaknya. Sehingga saya anggap kami berlima termasuk anak-anak yang relatif suka membaca. Buku yang paling saya ingat adalah Oh Anak karangan Imam Al-Ghazali, buku favorit Ayahku. Ketika kami masih kecil, seringkali setelah solat berjamaah Ayahku menceritakan apa-apa yang dibacanya dalam buku itu. Terkadang kami juga berdoa bersama dengan doa yang diajarkan dalam buku tersebut. Walaupun buku itu sudah lusuh, kertas-kertasnya berwarna coklat, dan sobekan disana-sini, bahkan terakhir buku itu robek jadi dua karena bekas lipatan yang terlalu sering, Ayahku tidak menyerah untuk mengajak kami (anak-anaknya) untuk mengetiknya kembali di program WS (waktu itu masih komputer kuno) maupun Microsoft Word. Begitu juga almarhum kakak saya, Arief Budiman (alm), yang kira-kira sekitar 7 tahun sebelum Allah Ta'ala menjemputnya, hidupnya dipenuhi dengan kecintaan kepada ilmu. Saat itu Allah Swt. memang ingin segera menemuinya di usianya yang masih 29 tahun dan setelah melakukan banyak hal yang bermanfaat baginya dan orang-orang disekitarnya. Bagi saya, kakak saya yang satu ini adalah sahabat karib. Sejak kecil kami selalu memiliki banyak kenangan tersendiri. Sampai kami berdua juga memiliki cita-cita dakwah yang sama. Dia juga seorang mentor yang memberikan contoh betapa membaca adalah aktifitas yang luar biasa mengasyikkan. Dia rela mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk membeli setumpuk buku-buku. Mulai buku-buku tentang pengembangan kepribadian, kepemimpinan, strategi bisnis, sampai yang paling banyak adalah buku-buku agama. Yang paling ku ingat dulu, ketika awal-awal kami mulai mencintai belajar ilmu agama, buku-buku Aa' Gym-lah yang banyak memberikan kontribusi bagi hati kami berdua. Bahkan hari ini buku-buku warisan kakak saya tercinta itu kebanyakan karangan Aa' Gym dan masih terawat rapi. Masalah membaca memang bukan hanya masalah sepele. Namun bisa jadi akar dari segala masalah yang sehari-hari kita hadapi. Masalah antar manusia maupun hubungan kita dengan Allah sebagai Rabb semesta alam. Karena membaca berarti menambah ilmu. Sedangkan setiap kesalahan, dosa, perpecahan, kebencian, salahpaham, dan yang lainnya sangat berkaitandengan lemahnya ilmu/ kebodohan. Contoh, dalam hal ibadah, orang-orang yang melakukan kesyirikan melalui praktek perdukunan atau sejenisnya, tidak mungkin dilakukan oleh orangorang yang sering mempelajari dan memahami isi Kitabullah dan Sunnah. Orang-orang yang melakukan bid'ah dalam akidah juga semua berakar dari lemahnya ilmu. Bahkan bangsa Indonesia ini sangat terpuruk, jangan-jangan juga karena masalah kebodohan sendiri atau lebih khususnya karena malas belajar dan membaca. Kalau kita mau mengingat ingat keseharian kita sejak kecil, memang umumnya didikan membaca hanya sebatas kita disekolah saja. Lingkungan kita tidak pernah dekat dengan dunia membaca, bahkan banyak yang malah merusak moral serta menjauhkan diri kita dari membaca. Waktu-waktu efektif kita sejak kecil telah habis dengan menonton acara televisi yang sudah cukup 'berjasa' membentuk karakter bangsa ini menjadi sangat jahil dan sangat ke'barat-baratan', semakin jauh dari Allah Ta'ala. Sudah cukup masa muda kita menjadi korban TV. Ketika kecil kita mungkin lebih sering di beri hadiah saat ultah atau lebaran berupa mainan, pakaian atau harta lainnya. Dan kita sangat menyukai itu, sehingga seandainya saat ini ada yang memberi kado kepada kita sebuah buku tebal tentang ak idah atau f iqih, senyuman dan kegembiraan kita hanya sampai pada saat kertas kado akan dibuka. Ketika tahu kalau isinya buku, senyum lebar itu berubah menjadi senyuman 'garing' untuk menutupi penyesalan. Tapi sungguh, bagi saya pribadi, saat ini buku adalah harta yang sangat berharga bagi saya. Bahkan seringkali saya harus menahan hati dan pandangan untuk melihat 'indah'-nya buku-buku baru di toko-toko buku. Seringkali juga saya berharap ada yang menghibahkan atau memberi saya bukubukunya yang sudah tak terpakai. Seringkali saya bercerita tentang buku-buku yang baru saya baca dengan harapan lawan bicara saya akhirnya tertarik ingin membacanya juga. Seringkali saya juga berharap menemukan pencinta- pencinta buku yang biasa  menghabiskan waktu sambil berdiskusi tentang buku-buku tertentu yang kami masing-masing sukai. Ketika anak saya yang pertama lahir, saya dan istri memberinya nama Hafizhan Faiq Albani. Nama Albani kami ambil dari nama seorang ahli hadits termasyur, Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Karena kami merindukan kelak anak kami menjadi orang yang soleh, banyak ilmu dan mampu memahami agama ini lebih baik dari kedua orang tuanya. Yang mampu membaca apa-apa yang Allah ajarkan di dunia. Yang mampu membaca hati kami, sehingga dapat menjadi penghibur hati kami ketika kami sedih, menjadi pengingat ketika kami lalai. Yang kelak darinya akan lahir orang-orang soleh yang memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan umat ini. Amin.

Umat Menyia-nyiakan Potensi Akalnya
Untuk bab yang satu ini ijinkan saya mengisinya dengan kutipan-kutipan yang berasal dari kata-kata seorang ulama kontemporer, Syaikh DR. Yusuf Al Qardhawy. Beliau mengatakan : “Kurikulum pelajaran kita hanya mampu mengeluarkan para pegawai, bukan para intelektual. Kemauan membaca tidak kita miliki, kita tidak suka membaca, karena membaca memerlukan keseriusan dan pemikiran agar dapat dipahami dan mampu mengikuti teori yang disuguhkan. Tetapi kemalasan pada diri kita terasa lebih manis dari madu!” Suatu ketika, mantan Menhankam Israel, Moshe Dayan, menyatakan secara terbuka cita-cita dan ambisi negaranya. Dia mendapat serangan gencar dari bangsanya, karena mereka kuatir pernyataannya itu dibaca oleh bangsa Arab (umat Islam) dan rencana jahatnya diketahui. Namun dengan tenang ia menjawab serangan kaumnya, katanya,”Tenanglah. Percayalah padaku, bangsa Arab tidak akan membacanya, karena mereka tidak suka dan malas membaca.” Hal ini sangat memprihatinkan. Padahal Allah menurunkan sebuah kitab yang sangat kaya akan ilmu kepada umat Islam ini. Menurunkan agama Islam ini yang 'menyeluruh' ilmunya, agar mampu memecahkan segala problematika hidup didunia. Bahkan lebih dari itu, setelah kita hidup didunia ini. Namun bagaimana mungkin saat ini kita tertinggal dengan semangat keilmuan orang-orang kafir yang jelas-jelas dilaknat oleh Allah Ta'ala. Allah Ta'ala memberikan alasan kemenangan kaum muslimin atas musuh-musuhnya, dari golongan musyrikin dan Yahudi karena mereka terdiri dari kaum yang tidak berakal (Qaumun laa yakqiluun), atau kaum yang tidak memahami (Qaumun laa yafqahuun). Saat ini keadaannya terbalik. Mungkin kita yang lebih pantas menyandang 'gelar' itu dibanding mereka.

Tak Ada Kata Terlambat
Bagi teman-teman sesama muslim yang belum memiliki semangat keilmuan, berusahalah sekuat tenaga untuk memperbaiki diri. Karena kelak ketika menikah, memiliki istri/suami, memiliki anak, kita akan dimintai pertanggungjawaban ketika kita salah memberikan bimbingan. Nanti akan ada saatnya ketika kita harus mampu memberikan contoh untuk lingkup keluarga kita bagaimana menjadi mukmin yang terbaik yang kita bisa. Ada saatnya kita harus mampu menjawab berbagai pertanyaan 'penting' dari anak-anak kita seperti : “Kenapa Allah tidak terlihat ?”, “Kenapa saya harus sholat?”, “Kenapa Allah menciptakan orang kaya dan orang miskin?” dan segudang pertanyaan lainnya. Jadikan ilmu menjadi kebutuhan yang urgen. Tidak bisa ditunda lagi. Malah seharusnya disetarakan dengan kebutuhan primer-mu. Yakinkan pada diri kita bahwa telah lama umat yang tadinya stagnan dan tak kunjung bangkit ini, tak akan lama lagi akan menggenggam kembali kejayaan yang Allah janjikan. InsyaAllah… 


Words by Aditya Abdurrahman
Project Director Sa’i ‘zine
tulisan ini dimuat di Sa’i ‘zine #1
dan dimuat di JMAA mini 'zine #1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar