Home

Selasa, 18 Mei 2010

Menuntut Ilmu Agama Lebih Didahulukan dari Tarekat, Dzikir dan Wirid

Allah ta’ala memuji ilmu dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan menganjurkan untuk menuntutnya. Rasulullah shallallahu‘alayhi wassallam juga menjelaskan keutamaan ilmu. Ini dikarenakan ilmu, yakni ilmu agama dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ilmu agama dibutuhkan oleh para penguasa, orang tua; ayah dan ibu. Tidak ada satu lapisan masyarakat-pun yang tidak membutuhkan ilmu agama. Oleh karenanya begitu urgent ilmu agama ini, terutama di masa sekarang yang dipenuhi dengan kebodohan. Ketidaktahuan tentang ilmu halal dan haram betul-betul telah mengenai secara merata terhadap segenap perbuatan dan aktivitas masyarakat. Ketika di masa lalu, di masa-masa kejayaan, masa para sahabat, tabi’in, atba’ at Tabi’in dan setelahnya, ilmu agama banyak dipelajari, maka kondisi ummat Islam jauh lebih baik dari kondisi kita di masa kini.


Oleh karenanya tuntutlah ilmu agama, jangan sampai tertipu oleh kebiasaan sebagian orang yang meninggalkan ilmu dan menyibukkan diri dengan tarekat, dzikir dan wirid. Dzikir jelas memerlukan ilmu, dzikir tidak bisa dilakukan tanpa ilmu. Demikian pula Ta’abbud, yakni memfokuskan diri berkonsentrasi untuk beribadah juga memerlukan ilmu. Sungguh jauh berbeda antara seorang ‘Abid (ahli ibadah) dan seorang ‘Alim. Cukup sebagai dalil untuk menjelaskan hal itu hadits Nabi shallallahu‘alayhi wassallam dalam Jami’at-Turmudzi yang diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Abu Umamah al Bahili –semoga Allah meridlainya- beliau mengatakan:
“Ada dua orang di masa Rasulullah, satunya ‘Abid dan satunya lagi ‘Alim, maka Rasulullah shallallahu‘alayhi wassallam mengatakan:
“Keutamaan seorang ‘Alim atas seorang ‘Abid adalah seperti keutamaanku di atas orang yang paling rendah derajatnya di antara kalian. Dan sesungguhnya Allah memberikan rahmat, para malaikat memohonkan ampun bahkan ikan-ikan di laut mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”. (H.R. at-Turmudzi)

Keutamaan yang demikian besar ini dikarenakan dengan ilmu agama Allah ta’ala memperbaiki kerusakan yang parah dan dengan ilmu agama Allah menyelamatkan banyak orang dari kebinasaan dan kehancuran. Perbandingan yang disebutkan dalam hadits di atas adalah antara seorang ‘alim yang benar-benar ‘alim dan seorang ‘abid yang benar-benar ‘abid. Sedangkan jika seorang ‘alim tidak betul-betul berilmu dan beramal maka dia tidak memperoleh keutamaan tersebut. Demikian pula seorang ‘abid jika ibadahnya tidak berdasarkan kaedah-kaedah syara’ dan tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada maka ibadahnya seperti tidak ada sama sekali. Jadi ‘abid yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam adalah seorang yang mengetahui cara yang membuat ibadahnya sah, bukan orang yang beribadah secara ngawur tanpa mengetahui bagaimana bisa sah sholatnya, bersucinya dan seterusnya. Justru orang seperti ini berada dalam
kerusakan yang sangat berbahaya. ‘Abid yang diperbandingkan oleh Rasulullah shallallahu‘alayhi wassallam dengan ‘alim adalah ‘abid yang mengetahui cara ibadah yang sah. Karena agungnya keutamaan seorang ‘alim, Nabi Isa ‘alayhissalam ketika menjelaskan ciri ummat Muhammad mengatakan:
“(Mereka adalah) orang-orang yang ‘alim, pemaaf, baik dan bertaqwa, seakan mereka seperti para nabi dari sisi kedalaman pemahaman mereka terhadap agama” (H.R. Abu Nu’aym dalam Hilyah al Awliya’)

Nabi Isa tidak mengatakan: “Seakan mereka seperti para nabi dari sisi ibadahnya”, melainkan beliau mengatakan: “Seakan mereka seperti para nabi dari sisi kedalaman pemahaman mereka terhadap agama”, agar diketahui betapa mulianya ilmu dan betapa tinggi kedudukan para ulama di atas para ‘abid, tetapi memang jika digabungkan antara ilmu dengan ibadah maka akan menjadi sebuah derajat yang sangat tinggi. Karena ilmu-lah yang menjelaskan tingkatan-tingkatan amal, amal yang utama dan yang paling utama, perbuatan yang haram dan yang makruh, maksiat yang termasuk tingkatan dosa besar dan dosa kecil, maka diketahui dengan jelas bahwa ilmu adalah amal yang paling baik. Ilmu lebih layak untuk menghabiskan waktu-waktu kita yang berharga dan ilmu adalah keinginan yang paling layak untuk diraih dan dicapai.

Oleh karenanya kalian harus meraih ilmu, meskipun karena itu kalian banyak tidak meraih hal-hal yang biasa diinginkan oleh nafsu manusia. Karena kewalian yang sesungguhnya adalah berilmu dan mengamalkan ilmu. Orang yang membaca sejarah para ahli fiqih di masa-masa lalu dan menelaah perjalanan kehidupan mereka akan mengetahui hal itu dengan baik. Sebagai contoh seorang ‘alim yang ahli dalam fiqih dan hadits Abu ‘Amr ibn ash-Shalah asy-Syahrazuri ad-Dimasyqi yang hidup pada abad VI H. Pada sekitar dua puluh tahun yang lalu, kuburannya digali untuk dipindahkan karena di kawasan pekuburan tersebut hendak dibangun jalan yang baru. Ketika digali ditemukan jasad beliau yang masih utuh, tidak ada satupun bagian tubuhnya yang membusuk, bahkan kain kafan yang melilit jasadnya tidak rusak. Jasad tersebut kemudian dipindahkan ke kawasan Al Maydan di Damaskus dan dikebumikan di sana. Ibnu ash-Shalah ini di kalangan ummat Muhammad tidak setingkat dan sepopuler Imam Syafi’i, imam Malik dan imam Ahmad, tingkatan beliau dibanding mereka masih sangat jauh. Meskipun Ibnu ash-Shalah terkenal sebagai seorang ahli hadits dan ahli fiqh Syafi’i, namun beliau tidak sepopuler dan sekaliber imam Syafi’i, semoga Allah meridlai mereka semua. Ibnu ash-Shalah tidak memperoleh kemuliaan dan derajat yang tinggi ini kecuali dengan ilmu dan amal.

Kisah tentang jasad Ibnu ash-Shalah yang masih utuh padahal telah berlalu ratusan tahun ini, diceritakan kepadaku oleh salah seorang ulama Damaskus, yaitu Syekh Abu Sulaiman az-Zabibi dan beliau mendengarnya dari Abdul Muta’aal, seorang penggali kuburan yang menyaksikan langsung peristiwa penggalian tersebut. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, dan dosa saudara-saudara kami yang beriman yang telah mendahului kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar